"Partikel berbentuk cacing menghasilkan ekspresi gen dalam sel-sel hati 1.600 kali lebih banyak dibanding yang dihasilkan dua bentuk lainnya."
Para peneliti dari
Universitas Johns Hopkins dan Northwestern telah menemukan cara untuk
mengontrol bentuk nanopartikel yang berfungsi memindahkan DNA dalam tubuh,
serta menunjukkan bahwa bentuk-bentuk penghantar ini bisa membuat perbedaan
besar dalam hal pengobatan kanker dan berbagai penyakit lainnya.
Studi yang
dipublikasikan pada 12 Oktober dalam jurnal Advanced Materials ini
juga patut menjadi perhatian karena teknik terapi
gen ini tidak harus memanfaatkan virus untuk menghantarkan DNA ke dalam
sel. Beberapa upaya terapi gen yang bergantung pada virus mengandung berbagai
resiko kesehatan.
“Nanopartikel ini
bisa menjadi kendara penghantar yang lebih aman dan efektif untuk terapi gen,
menargetkan berbagai penyakit genetik, kanker serta penyakit-penyakit lain
yang bisa disembuhkan dengan pengobatan gen,” kata Hai-Quan Mao, profesor ilmu
dan teknik material di Sekolah Teknik Whiting Johns Hopkins.
Mao telah
mengembangkan nanopartikel nonviral untuk terapi gen selama satu dekade.
Pendekatannya melibatkan pengkompresian potongan-potongan DNA yang sehat dalam
lapisan polimer pelindung. Partikel-partikel ini dirancang untuk menghantarkan
muatan genetiknya hanya setelah partikel ini bergerak melewati aliran
darah dan memasuki sel-sel yang menjadi sasaran. Dalam sel-sel tersebut,
polimer mengurangi dan melepaskan DNA. Dengan menggunakan DNA ini sebagai pola
dasar, maka sel-sel tersebut dapat memproduksi protein fungsional yang mampu
memerangi penyakit.
Sebuah kemajuan
besar dalam pekerjaan ini adalah kemampuan para peneliti “menyetel”
partikel-partikel dalam tiga bentuk; batang, cacing serta bulatan, yang
meniru bentuk dan ukuran partikel-partikel virus. “Kami bisa mengamati
bentuk-bentuk itu dalam laboratorium, tapi kami tidak sepenuhnya memahami
mengapa mereka mengasumsikan bentuk-bentuk itu dan bagaimana cara mengontrol
prosesnya dengan baik,” kata Mao. Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena
sistem pengiriman DNA yang ia bayangkan mungkin memerlukan bentuk-bentuk
spesifik yang seragam.
Untuk mengatasi
masalah ini, sekitar tiga tahun lalu Mao mencari bantuan dari rekan-rekannya di
Northwestern. Sementara Mao bekerja di laboratorium tradisionalnya yang serba
basah, para peneliti di Northwestern merupakan pakar dalam melakukan eksperimen
serupa dengan menggunakan model komputer yang canggih.
Erik Luijten,
profesor ilmu dan teknik material serta matematika terapan di Sekolah Teknik
dan Ilmu Terapan McCormick Universitas Northwestern dan sebagai penulis
pendamping dalam makalah, memimpin analisis komputasi pada temuan-temuan
tersebut untuk menentukan mengapa nanopartikel diformasikan ke dalam
bentuk-bentuk yang berbeda.
“Simulasi komputer
dan model teoritis kami telah memberi pemahaman mekanistik, mengidentifikasi
apa yang bertanggung jawab atas perubahan bentuk tersebut,” kata Luijten. “Kami
kini dapat memprediksi secara tepat bagaimana memilih komponen nanopartikel
jika ada yang mengingini bentuk tertentu.”
Penggunaan model
komputer memungkinkan tim Luijten untuk meniru percobaan laboratorium
tradisional dalam waktu yang jauh lebih cepat. Simulasi dinamika molekul ini
dilakukan pada Quest, sistem komputasi berkinerja tinggi dari Northwestern.
Komputasi ini begitu rumit sehingga beberapa di antaranya memerlukan 96 prosesor
komputer yang bekerja secara bersamaan dalam satu bulan.
Dalam makalah
mereka, para peneliti juga ingin menunjukkan pentingnya bentuk partikel dalam
menghantarkan terapi gen. Para anggota tim riset melakukan tesnya
pada hewan, kesemuanya menggunakan bahan partikel yang sama dan DNA yang
sama. Satu-satunya perbedaan adalah pada bentuk partikel: batang, cacing dan
bulatan.
“Partikel berbentuk
cacing menghasilkan ekspresi gen dalam sel-sel hati 1.600 kali lebih banyak
dibanding yang dihasilkan dua bentuk lainnya,” kata Mao. “Artinya, produksi
nanopartikel dalam bentuk ini bisa menjadi cara yang lebih efisien untuk
menghantarkan terapi gen ke dalam sel-sel tersebut.”
Bentuk-bentuk
partikel yang digunakan dalam penelitian ini diformasi lewat cara mengemas
DNA dengan polimer dan mengeksposnya ke berbagai pengenceran pelarut
organik. Penolakan DNA terhadap pelarut, dengan bantuan rancangan polimer dari
tim riset, menyebabkan nanopartikel berkontraksi menjadi bentuk tertentu dengan
sebuah “perisai” di seputar materi genetik untuk melindunginya dari penghapusan
oleh sel-sel kekebalan.
Dana awal untuk
penelitian ini berasal dari Institut NanoBioTeknologi Johns Hopkins. Riset
kemitraan Johns Hopkins-Northwestern memperoleh dukungan pendanaan dari
National Institutes of Health.
Jurnal: Xuan Jiang, Wei Qu, Deng Pan, Yong Ren, John-Michael Williford, Honggang Cui, Erik Luijten, Hai-Quan Mao. Plasmid-Templated Shape Control of Condensed DNA-Block Copolymer Nanoparticles. Advanced Materials, 2012; DOI: 10.1002/adma.201202932
Tidak ada komentar:
Posting Komentar